Untuk Ayah ... (Sebuah Cerpen)
Arrrgh!!! Penat sekali hidupku! Rasanya planet bernama Bumi sedang mendarat
di kepalaku. Kucoba membuka kembali selembar kertas yang sedang kuremas. Ah,
Merah merona nilai matamatikaku. 43, angka terburuk dalam catatan sejarahku.
Sudah menjadi rutinitas sejak SD, aku selalu mendapat nilai matematika di atas
70. Ah, dulu aku melayang saat mataku menangkap angka 100 di ujung kertas
ulanganku. Sekarang aku terpuruk, mataku serasa terbakar oleh angka yang
terpampang saat ini. Ah, apa Allah telah menyoretkan Tip-X-nya pada kertas
takdir indahku, kemudian menggantinya dengan tulisan bertinta hitam kelam?
Kelas X-6 terasa sunyi laksana kediaman jasad-jasad yang telah kehilangan
nyawa. Padahal teman-teman kelasku sedang sibuk menghiperbolakan nasib buruk
yang mereka terima hari ini. Ya, hanya 2 orang saja yang menjabat sebagai un-remedial person dengan mengantongi
angka 73 dan 76. Ah, mepet sekali, padahal seorang siswa harus mengikuti remidial
apabila nilai ulangannya di bawah 70. Namun masih terlihat hebat bagi kami. Terang
saja, mereka kan tersaring MSC (Mathematic
Study Club) di sekolahku ini. Dibandingkan denganku? Yang berada diurutan
kelima dari 39 peserta tes MSC. Kelima dari bawah maksudku. Yang diterima hanya
10 anak.
Ah, kenapa engkau menciptakan Mrs. Vivi ke dunia ini ya Allah? Hanya untuk
meremas otak kami dengan soal matematika yang ia buat. Hanya untuk membuat kami
panas dingin dan mulas saat menatap angka-angka berantakkan, kemudian harus
merapikannya. Oh, bagaimana tidak? Sebuah soal yang masya Allah susahnya ternyata
hanya menginginkan angka ’1’ untuk mengisi lembar jawab kami.
Ah, Mrs. Vivi, andaikan kau bukan pembina MSC, yang berfungsi untuk
menggembleng siswa yang kemudian kan menggenggam piala juara 1. Menambah
koleksi piala di kantor kepala sekolah. Andaikan kau tak punya otak selihai itu...
Huffth... neuronku telah kehabisan tenaga untuk mengolah informasi jelek
ini, yang akhirnya secara responsif keran air mataku membuka. Crrrs... awalnya
setetes air mata keluar sempurna dari ujung mataku, kemudiaan menjelajahi
pipiku dan berakhir di tanganku sendiri. Kutelungkupkan seluruh area wajahku
pada lipatan tanganku yang kokoh di atas meja. Aku malu kalau ada teman
sekelasku yang tahu kalau aku menangis.
Arrrgh! Kenapa aku ada di sini? Di sekolah yang katanya terbaik di kawasan
sosialku. Sekolah yang hanya dengan namanya saja dapat menciutkan nyali para
peserta lomba dari sekolah lain. SMAN 1 BUMIRAYA, untuk apa rangkaian huruf itu
terpahat di ujung lengan kanan kemeja putihku? Bila menggenggam angka 70 untuk
skor matematika saja tidak bisa, untuk apa?
Arrgh! Ini bukan pilihanku! Tetapi pilihan orang tuaku. Hanya karena
disinilah mereka pertama kali bertemu. Lalu kenapa tidak mereka saja yang duduk
di bangku ini menggantikan aku?
Teet...teet...teet... bel tanda pulang, layaknya terompet akhir zaman.
{{{{{
14.30. Kulangkahi lantai rumahku dengan gontai, lemas, pantasnya aku tak
bernyawa lagi. Kumasuki kamar dan menguncinya dengan mata non-akomodasi. Bahkan
mungkin apabila ada seorang fisikawan yang mengobservasiku, ia akan terkejut
karena tak menemukan bayangan benda yang jatuh di retina mataku. Itu semua
karena mataku telah mendapat bayangan penglihatan dari sebuah kertas. Kertas
kusut berangka 43 di ujung atasnya, ditulis dengan spidol merah yang tegas,
itulah yang ada dalam lingkup penglihatanku.
Bruk! Kutelungkupkan tubuhku di atas kasur biru yang tenang. Kutenggelamkan
wajahku pada bantal yang kering, kemudian membasahinya dengan air mataku.
{{{{{
Sayup-sayup kudengar Bunda memukul-mukul pintu kamar dengan telapak
tangannya sembari memanggil-manggil namaku. Kubersihkan area mataku, kemudian
meraih HP mungil yang kutelantarkan di ujung ranjang. Hah? 16.35? Ah, rupanya
aku tertidur. Langsung kubuka pintu kamar mungilku untuk menuju ke kamar mandi
dengan meninggalkan wajah heran Bunda. Sial! Shalat Asharku telat. Untung saja
aku telah melaksanakan shalat Dzuhur di sekolah.
Selesai melaksanakan shalat Ashar, aku kembali tiduran di atas ranjang.
Begitu juga yang kulakukan setelah shalat Maghrib dan Isya-ku. Arrgh! Ada apa
dengan hari ini? Kenapa semuanya berjalan lambat?
Kubiarkan tumpukkan pe-er tak tersentuh oleh lentiknya jemariku. Hari ini,
rasanya aku tak berselera untuk hidup.
”Jadilah bola basket, jangan jadi telur ayam!”
Tiba-tiba ingatanku memutar suara lembut nan tegas itu. Kata-kata itu
seakan telah terekam jelas dalam memoriku. Ya, suara itu seakan telah terpahat
jelas. Kemudian muncul dalam wujud fatamorgana. Suara indah yang dihasilkan
oleh pita suara seorang pria berkulit coklat nan kekar. Ah, Ayah...
{{{{{
Pagi itu kukagetkan Bunda dari belakang kemudian memeluknya. Menempelkan
pipi ke ekor jilbabnya. Dan kupergoki ia sedang membantu memasukkan pakaian ke dalam
tas besar Ayah.
”Ayah mau kemana? Kok beres-beres pakaian?” Ayah dan Bunda terpaku sejenak
kemudian saling menatap.
”Mau pergi kerja, sayang...” Ayah menjawab dengan segores senyuman favoritku.
”Kerja dimana? Kan belum setahun Ayah pulang. Lusa Alia mau tes di SMP 1
Bismillah , SMP-nya Ayah dulu. Nanti Ayah mau nganter Alia kan?”
”Ayah mau kerja di Korea, sayang... Nanti Bunda saja yang nganter, ya?”
Korea? 3 tahun lalu pun Ayah menyebutkan negara asing itu padaku. Bulir-bulir
air mata turun dari batas mataku, senada dengan alunan perasaanku yang takut
ditinggal lagi oleh orang yang sangat kucintai. Selama bertahun-tahun...
Dengan buliran air mata dan kemanjaan yang kupunya aku berucap, ”Tapi Alia
pengin dianter Ayah... Kayak waktu Alia masuk SD dulu…”
”Maaf sayang, Ayah tak bisa.” Kulit tangannya yang kasar membelai wajahku
yang ringkih.
”Kapan Ayah akan pulang?”
”Kalau kau sudah kelas 2 SMA.”
Saat itu aku hampir berumur 11 tahun. Kelas 2 SMA? Berarti Ayah kan pergi
selama 5 tahun. Ya, selama itu kontrak kerja Ayahku, sang pelaut yang bekerja
di kapal berbendera negara orang.
”Pokoknya Alia cuma mau dianter Ayah!”
Kunyatakan emosiku dengan bentakkan dan tangisan. Aku berlari menuju
kamarku kemudian menyegelnya dari dalam. Kutumpahkan persediaan air mataku pada
bantal biru mudaku. Teddy Bear pink yang terpaku di pojok ranjang langsung
kulempar ke arah pintu. Beberapa minggu lalu Teddy Bear itu terbungkus kotak
kuning berpita merah, kado pemberian Ayah karena NEM-ku paling tinggi
se-kecamatan.
”Buka pintunya sayang, Ayah mau bicara.”
”NGGAK MAU!”
”Ayolah sayang, sebentar saja.”
”Pokoknya nggak mau! Alia benci Ayah!”
Sejenak hening merambat...
”Alia, kalau Alia benci sama Ayah, buka pintunya lalu pukul Ayah!”
Terdengar nafas yang tidak teratur dari balik pintu. Sang Bunda mengelus
dada Sang Ayah yang kemudian merosot mengambil sikap jongkok.
Memukul? Langsung kuambil botol minuman kosong di dalam kamarku. Kubuka
segel pintu dan menarik engselnya dengan sadis. Teddy Bear terseret kacau.
Kuperkuat tangan kecilku yang menggenggam ujung botol dan kuarahkan pada ujung
kepala Ayah. Secara responsif kedua orang tuaku mengubah tangan mereka menjadi
alat penangkis. Namun percuma, batinku sedang dirundung kesal yang menjadi
tenagaku untuk sebanyak-banyaknya memukul, berharap semuanya berubah indah...
”Alia, jangan sayang! Alia hentikan!” Bunda membentakku dengan keras
sembari berusaha mengakhiri amukanku.
”Ayah jahat! Ayah nggak sayang sama Alia!”
Percuma saja aku berharap akan banyak memukul Ayah sehingga ia akan
berdarah dan masuk rumah sakit, kemudian membatalkan rencananya pergi, karena
Bunda tlah mencengkeramku dan menarik mundur menjauhi Ayah.
Ayah setengah berlari kemudian memelukku. Tubuh kekarnya tak bisa kulawan.
Setelah sekian detik mengatur nafasnya, ayah berbisik, ”Ayah sayang sama
Alia...”
Dengan nafas yang kacau aku berucap, ”Kalau Ayah sayang kenapa mau pergi
ninggalin Alia dan Bunda? Alia nggak mau ditinggal Ayah lagi.” Ayah melepas
rangkulannya kemudian menghapus air mataku dengan tangan besarnya.
”Ayah pergi bukan mau piknik atau nglupain Alia dan Bunda, Ayah pergi demi
kebaikan Alia dan Bunda. Ayah pergi buat kerja, biar Alia bisa sekolah...”
”Kalau kerja kenapa nggak di sini aja yah? Papanya Erna kerja di toko deket
sekolah. Papanya Mila juga kerja di sekolah Alia, jadi guru Agama.”
Ayah tersenyum kecut. ”Sayang... kan kemampuan orang berbeda-beda. Ayah cuma
bisa nangkep ikan di laut.” Matanya sendu dan tenang, ”Bagaimanapun keadaannya,
Ayah tetap sayang sama Alia dan Bunda. Ayah selalu mendo’akan Alia dan Bunda.
Minta kepada Allah supaya Alia dan Bunda sehat selalu, Alia jadi anak pintar.
Ayah sayang sama Alia...” Ucapannya terbata namun sangat dalam.
Kupeluk Ayah, ”Alia juga selalu berdo’a pada Allah, supaya Ayah sehat
terus, Ayah dapat ikan banyak, Ayah nggak mabuk laut, Ayah nggak kedinginan di
kapal, Ayah bisa makan banyak biar kuat...”
Ayah tersenyum dan mengelus rambutku. Bunda tersedu-sedu.
”Jadi Alia mau maafin Ayah?” Tanya Ayah, kemudian melepas pelukannya.
Aku mengangguk seperti ayam mematok
makanannya, membuat Ayah memelukku lagi.
”Jam berapa Ayah berangkat?”
”Nanti malam jam setengah sebelas, sayang…”
”Nanti malam kan dingin, Ayah bawa jaket tebel, ya...?” Saranku, sembari menegakkan
wajah menatap Ayah. Ayah mengangguk dan tersenyum.
”Jangan nangis lagi ya... Ayah mau ajak Alia jalan-jalan.”
”Kemana?”
”Ada deh...” Jawabnya, sambil mencubit pipiku dengan gemas.
Dan Ayah membawaku ke pasar hewan, membelikanku seekor kucing putih yang
lucu. Ekor panjangnya bergoyang gemulai. Wajahnya sempit dan cantik.
”Kucing ini biar jadi temanmu di rumah kalau Bunda pergi pengajian di rumah
tetangga. Bisa jadi teman belajar, nonton TV, main rumah-rumahan, main boneka...”
Kuputus rangkaian kalimat Ayah, ”Teman Alia? Kenapa Ayah nggak ngasih Alia
adik? Masa Ayah kalah sama papanya Mila? Sekarang adiknya dua. Lucu-lucu...”
Ayah menatapku dengan mata sendu, ”Maaf sayang, Ayah tak bisa memberimu
adik.”
”Kenapa?”
”Ayah ingat waktu kecil kau sangat nakal. Kau suka panjat pohon jambu Mbah
Hasan, bermain kembang api di tengah jalan, hingga mandi di sungai tanpa ijin
Ayah dan Bunda sampai kau hampir mati tenggelam.”
Aku tertunduk, mengenang kejadian itu, ”Ayah takut nanti adik Alia jadi nakal
seperti Alia dulu? Tenang saja, Ayah... Alia akan menjaganya.”
”Bukan sayang, Ayah tidak takut adik Alia akan nakal seperti Alia dulu. Itu
wajar bagi anak-anak seusia itu.”
”Lalu kenapa?”
”Ayah takut, Ayah akan pergi meninggalkan adik Alia di saat dia membutuhkan
Ayah. Seperti saat Alia dirawat di rumah sakit setelah hampir tenggelam di
sungai. Tapi Ayah malah pergi berlayar setelah mengantar Alia ke rumah sakit.
Sebelum Alia siuman, Ayah sudah pergi.” Kelopak mata Ayah mengerjap, menahan butiran
air keluar dari matanya. ”Maafkan Ayah, Ayah tak bisa menemani Alia saat itu.”
Aku ingat itu, namun kucoba untuk mencairkan suasana, ”Nggak apa-apa yah,
Alia tetep sayang sama Ayah kok.”
”Ah, bagaimana kucingnya? Alia suka?” Tanya Ayah sembari mengusap sebutir
air yang lolos dari pertahanan kelopak matanya.
Aku mengangguk senang.”Lucu. Kucingnya aku beri nama siapa?”
”Terserah Alia.”
”Kalau Dolphinie?”
”Haha... itu kan nama lumba-lumba bukan kucing.”
”Tadi katanya terserah Alia...?”
Ayah tersipu malu kepergok melupakan apa yang telah ia katakan.
Sesampainya di rumah, Ayah bertanya padaku, ”Kenapa kucing Alia diberi nama
Dolphinie?” Kami duduk bersama Bunda di sofa, menanti waktu Maghrib tiba.
”Lumba-lumba kan baik dan cerdas. Lumba-lumba suka menolong manusia. Kalau mereka
melihat manusia diancam hiu pasti mereka akan menubruk jantung hiu sampai hiunya
sempoyongan. Jadi, manusianya slamet deh!”
Ayah dan Bunda tersenyum bersama.
”Anak pinter! Alia tahu dari mana?” Tanya ayah sembari mengacak-acak
rambutku.
”Alia pernah baca bukunya Erna. Di TV juga ada, itu loh yang tentang
hewan-hewan. Alia suka banget nonton acara itu yah.”
Ayah menggoreskan senyum indahnya lagi.
”Lumba-lumba suka berteman. Alia juga tahu lumba-lumba suka bantu pelaut
kayak Ayah. Ayah juga suka lumba-lumba kan?”
Senyum indah itu terpahat lagi, ”Kok tahu?”
”Kan tiap bulan kalau Ayah kerja, Ayah selalu kirim kartu pos yang
gambarnya lumba-lumba. Ayah juga pernah kirim foto Ayah dicium lumba-lumba
Korea.” Ayah tersenyum lagi. ”Eh, Ayah, lumba-lumba Korea matanya sipit kayak
temen Ayah dari Korea nggak?”
”Hahaha... ya enggak sayang... kalau sipit, mereka sudah jadi warga Korea
dan punya paspor Korea.”
Telinga dan mataku tak asing lagi dengan benda itu. ”Paspor? Buat apa yah?”
”Kan lumba-lumba suka keliling dunia.”
”Hahaha...” Kami tertawa bersama.
{{{{{
Malamnya, sebelum Ayah beranjak pergi, Ayah mengajakku dan Bunda Shalat
malam berjamaah. Setelah shalat usai, kupanjatkan do’a memohon perlindungan dan
kesehatan untuk Ayah, membuatku menangis lagi.
”Sudah Alia, jangan nangis lagi. Nanti Ayah ikutan nangis.” Bunda membelai
kepalaku yang tertutup mukena.
”Sini sayang...” Ayah membuka kedua tangannya, melepas mukenaku, kemudian
menggendongku ke ruang keluarga.
”Jadilah bola basket! Jangan jadi telur ayam!” Perintahnya, saat kami tiba
di sofa.
”Maksud Ayah?”
”Kau tahu bola basket dan telur ayam kan?”
Aku mengangguk. ”Apa hubungannya denganku yah?”
”Apa perbedaan keduanya?” Tanya Ayah tanpa menggubris pertanyaanku.
”Besarnya”
”Terus?”
”Ngg... fungsinya?”
”Terus?”
”Pabriknya, eh, asalnya?”
Ayah tertawa, ”Bukan itu yang Ayah maksud.” Kemudian Ayah mendudukkanku di
sofa.
”Lalu apa? Masa depannya?”
Ayah melirikku bingung, ”Masa depan?”
”Kalau masa depan bola basket kan jadi maskot, disimpan di lemari deket
piala kalau menang. Kalau kalah dan rusak ya di buang. Kalau telur ayam masa
depannya menjadi anak ayam, jadi dewasa, trus dimakan manusia, atau telurnya
langsung digoreng Bunda, hehe...”
”Eh, Ada yang lagi ngomongin Bunda ya?” Bunda datang sambil membawa 3 gelas
wedang jahe dan sepiring kue. Menyajikannya pada tiap anggota keluarga.
”Lagi ngomongin telur goreng Bunda yang
lezzzaaat” Jawab Ayah.
”Ayah bohong…” Tuduhku.
Bunda tersenyum meledek Ayah, ”Ya sudah, cicipi dulu wedang jahenya...”
”Nggak usah dicicipi aja udah tau enaknya, kan Bunda koki terhebat. Iya
kan?” Ayah melirikku, meminta pembelaan.
”Iya dong! Kan Bunda menang lomba masak waktu 17-an kemarin”
Kami tertawa serentak.
”Jadi jawabannya apa yah?” Kuhujam pertanyaan itu setelah Ayah menyeruput
wedang jahe dan meletakkannya kembali.
Ayah merangkulku, ”Maksud Ayah begini, bola basket kalau jatuh akan
melambung kan? Kalau telur ayam?”
”Pecah.” Jawabku dengan masih menyisakan seutas kebingungan. ”Lalu apa
hubungannya denganku yah?”
”Hm... anak pintar pasti cepet nyambung.” Ayah mencolek hidung mungilku
kemudian menghembuskan nafas pelan. ”Bola basket itu perumpamaan orang yang
kuat menghadapi cobaan, sedangkan telur ayam sebaliknya, perumpamaan bagi orang
yang mudah menyerah dan suka mengeluh. Bola basket melambung bila terjatuh.
Semakin tinggi jarak jatuhnya, semakin tinggi ia melambung. Sedangkan telur,
semakin tinggi jarak jatuhnya, semakin parah hancurnya.” Ayah berhenti sesaat
kemudian melanjutkan, ”Ayah pengen Alia seperti bola basket. Semakin banyak
Alia mendapat ujian dari Allah, semakin Alia menjadi orang yang kuat. Tidak
mudah menangis dan menyerah. Alia harus tetap kuat seperti Rasulullah. Walau
dicaci maki dan bahkan dilempari batu oleh kaum Quraisy, beliau tetap tabah dan
semakin kuat, semakin dekat dengan Allah.”
Ah, pesan Ayah begitu dalam...
”Bagaimana? Sudah paham? Anak pintar pasti cepat paham...”
{{{{{
Ah, anak pintar... Aku mendapat nilai 43, apa aku anak pintar yah? Tumpah
lagi air mataku. Kuhapus air itu setelah beberapa menit merenung. Kuhentakkan
kakiku di lantai, kuubah kapasitas paru-paruku menjadi full. Kulangkahkan kaki menuju tempat wudhu dan kemudian
melaksanakan shalat malam. Kuberserah pada Allah, mengakui kelemahanku sebagai
hamba, memohon perlindungan, kesehatan dan kekuatan bagiku sekeluarga.
Ah, Ayah... aku berjanji kan mempersembahkan nilai terbaik yang aku bisa
kelak jika kau pulang. Aku berjanji, takkan ada angka yang membakar rapor-ku.
Setahun lagi Ayah kan pulang, setahun lagi...
Dan selama itu ku kan terus menunggu, aku kan berusaha, belajar sekuat
tenaga. Berjuang bersama bayanganmu, Ayah...
Dan kau pasti berjuang jua di sana... di laut lepas di negeri orang....
Dan kudo’akan Ayah sehat selalu...
Dan kudo’akan semoga banyak ikan menyangkut di jala majikanmu. Agar ia
senang dan menambah gajimu. Karena kau tlah berjanji padaku kan membuka usaha kecil-kecilan
di rumah dengan gajimu itu...
Dan berjanji takkan meniggalkanku dan Bunda, pergi ke negeri orang lagi...
Kecuali dua negeri yang kan kubolehkan engkau mengunjunginya. Saudi Arabia,
pergilah ke sana, Ayah, kelilingilah Ka’bah, ciumlah Hajar Aswad, lemparlah
jumrah, bawakan aku air Zam-zam, sandangkan gelar Haji mabrur pada namamu. Dan
Mesir, negeri para nabi...
Ayah, aku mencintaimu...
{{{{{
Komentar
Posting Komentar