Buang Rokokmu!!! (Sebuah cerpen)


Miris hatiku menatapmu, duhai harta batiniahku …
Ingin kurampas dan kuinjak-injak gulungan kecil itu,
Mencincangnya dan membuangnya jauh-jauh ...
Sungguh aku tak ingin kau seperti Ayah ...
Duhai hartaku ...

”Iman, shalat isya dulu!” Kuingatkan adikku -setengah adikku- di luar pintu kamarnya.
”Iya Mas, bentar lagi.” Dan ia menyahutku dari dalam.
Lama menunggu, kubuka pintu kamarnya. ”Iman, yuk ke masj...” Lidahku serasa terbekukan oleh bayangan yang jatuh di retina mataku. Ah, adikku, setengah adikku, kau...
”Ya Allah, Astaghfirullah hal adzim, Iman, kau merokok?”
Seharusnya seluruh anggota keluargaku tahu itu, ya mereka pasti sudah tahu bukan? Aku benci rokok! Abang Karso yang perokok berat itu saja terpaksa  menahan lidahnya yang semakin pahit bila menemuiku, membicarakan bisnis kami.
Kaget, ia berdiri dan mematikan benda bejat itu dengan kakinya. Ia menundukkan kepalanya.
Dengan amarah yang membludak aku berucap, ”Kau! Siapa yang mengajarkanmu merokok? Kau masih kelas 8 SMP.”
”Apa !? Apa urusannya dengan Mas? Apa hanya karena Mas benci rokok terus benci semua orang yang ngrokok?” lebih dari 13 tahun ia hidup, pantas sudah pandai membela diri.
”Iman! Rokok itu haram! Sama dengan narkoba!”
”Haram? Mas, Kyai yang musti jadi panutan aja ngrokok, Ayah kita juga ngrokok.”
”Itu karena mereka sudah kecanduan, susah melepas jeratan itu.”
”Ya sudah, mereka saja yang Mas ceramahi!”
”Eh, eh, ada apa ini? Bukannya ke masjid malah ribut.” Ibu -setengah ibuku- menyembul di antara kami.
”Iman ngrokok Bu, padahal dia baru kelas 8 SMP.” Kuperkuat pertahanan di posisi yang menurutku benar.
”Dan apa salahnya? Toh yang nggak setuju cuma Mas. Jangan sok ngatur deh! Cuma karena Mas lebih tua dariku. Aku udah gede mas!”
”Sudah, sudah, jangan ribut terus. Iman, Ibu setuju dengan kakakmu, kau masih kelas 8 SMP, belum pantas untuk merokok. Sudahlah, sana ke masjid, sudah Iqamah.” Ibu -setengah ibuku- menengahi kami.
”Astaghfirullah hal adzim, ya Allah...” Kusebut nama-Mu ya Allah, tenangkan batinku yang terlepas rantainya...
Keluar dari kamarnya kuambil air wudhu lagi, semoga lebih menenangkan hatiku. Kulangkahkan organ gerakku menuju masjid yang telah terpenuhi jama’ah shalat. Tidak asing lagi mataku melihat banyaknya jama’ah shalat karena masjid yang cukup luas itu sebenarnya milik pesantren di komplekku. Tidak asing? Ya, tidak seperti sepasang mata Paman Suryo yang sudah lama hidup di kota -yang penuh gemerlap duniawi sampai membuat sepi tempat-tempat ibadah- kemudian menatap rentetan jama’ah sebanyak itu.
Ah, makmum masbuk, gelarku sekarang.

Duhai Allah, hamba di sini menghadap-Mu
Menyertakan setumpuk keabdian pada-Mu 
Menyertakan segunung do’a pada-Mu
Dan sangat berharap, Engkau kan cepat mewujudkan rajutan do’aku, pada-Mu
Duhai Allah, hamba menghadap-Mu...
«««
Sejak itu, sejak pertengkaran singkatku dengan Iman, kami jarang mengobrol lagi, bahkan menyapa dengan senyum pun tidak. Ya, aku tahu, aku yang salah karena terlalu egois. Aku harus meminta maaf padanya. Kulihat jam butut yang melingkari pergelangan tanganku, ah 7 menit lagi jam sekolahnya berakhir. Kutinggalkan karyawan dan karyawatiku sebentar hendak menjemput Iman. Toh meninggalkan sejam tidak akan membangkrutkan bisnisku. Bisnis aksesoris di masa krisis identitas ini memang sulit, nasionalisme yang tipis menyebabkan rakyat Indonesia nggak doyan produk anak bangsa. Tapi aku harus bertahan, harus semakin pintar dan cerdik.
Dengan Honda aku terlepas dari rumah. Sampai di dekat gerbang SMPN 1 Kahyangan aku menghentikan raungan mesinnya. Gerbang sekolah ramai dengan warga sekolah yang hendak pulang. Para pedagang dan supir angkot yang menanti rejeki pun memenuhinya juga.
Kulihat si gendut Harun, teman sekelas Iman, keluar dari gerbang. Langsung kutanyai ia, ”Run, Iman mana? Udah pulang belum?”
”Ngg... nggak tau Bang, kayaknya tadi udah pulang ama temennya.” Anehnya dia terlihat kaget dan setengah ketakutan, tak seperti biasanya.
”Loh, kok kamu takut begitu? Emang aku kayak setan?”
”Ng... nggak Bang, enggak, aku nggak papa Bang.”
Sedetik, ada percikan impuls dalam otakku yang mengatakan bahwa si gendut ini menyimpan suatu rahasia, yang pastinya tentang Iman. Setengah detik kemudian, inti sel sarafku mengingatkan bahwa ia mudah diperdaya dengan keluguannya. Empat detik aku mencari-cari tempat yang bagus untuk mengulas informasi yang sepertinya ia sembunyikan.
”Eh, Harun, kamu laper nggak?” Langsung kucegat langkahnya yang hendak menjauh.
”Eh, iya Bang, kok tau?”
”Udah, makan sama Abang aja, Abang bayarin kok.”
”Ng... nggak usah Bang, aku pulang aja. Emak pasti udah masak.”
”Ya udah kalau begitu, minggu depan Abang nggak mau nyewa mobil box Abimu. Abang mau nyewa di Bang Untung aja.”
”Eh, Bang, duh... jangan dong, Bang...”
”Loh, emang kenapa? Kan yang nyewa mobil Abimu nggak cuma Abang.”
”Ng... iya sih, tapi... kalau Abang nggak nyewa mobil box Abi, nanti aku nggak dibelikan Play Station baru.” Dia sedikit merengek.
Haha, aku tertawa dalam hati. Tentu saja, tentu saja aku tahu itu, tapi aku pura-pura tidak tahu.
”Loh, kok gitu?”
”Abi bilang kalau Abang nyewa mobil selalu bayar lebih, jadi lebihannya mau dikumpulin buat beli PS baru buatku.”
Ya, ya, ya... aku tahu itu.
”Kalau gitu, mau nggak nemenin Abang makan?”
”Ng... iya deh Bang, dimana?”
”Deket kok, tuh di warung Mbok Yem.” Jari telunjukku menunjuk ke seberang jalan.
”Ya udah deh Bang.”
«««
Sesampainya di dalam warung, ”Harun mau makan apa?”
”Nasi goreng aja Bang.”
”Minumnya?”
”Es teh aja Bang.”
”Mbok, nasi goreng, nasi spesial sama es teh dua.” Kusahut mbok tua itu, yang sudah hafal wajahku, karena dulu aku sering jadi langganannya. Perawakan wanita 45 tahunan itu masih kurus seperti dulu.
”Iya nak. Eh, kau Ucup, Yusuf anaknya si Hasan kan?” Mbok Yem, generasi pertama pewaris warung kecil itu terlihat kaget.
”Wah hebat, Mbok masih ingat.”
”Ya ingat, jangan kira Mbok sudah tua terus jadi pikun. Mbok masih ingat kau dulu suka hutang sama mbok?”
”Haha, Mbok masih inget aja. Kalo gitu Mbok pasti tahu Ucup mau pesen apa kan?”
”Nasi, ikan, sayur sop kan? Hahaha...” Nenek bercucu satu itu tertawa lebar, sehingga terlihat giginya sudah tidak rapi lagi.
”Sip Mbok! Tambah nasi goreng satu buat si Harun, es tehnya dua.”
”Wah, wah, dulu sering hutang, eh, sekarang udah bisa traktir orang ya?”
Aku meringis malu, ya, memang dulu aku sering sekali berhutang pada Mbok yang satu ini karena kondisi ekonomi keluargaku sedang seret karena sebagian besar aset kami telah dijual untuk menutupi biaya merawat Ayah di rumah sakit.
Mbok Yem mendesah, seperti menyesali cepatnya waktu berjalan. ”Sekarang kau jadi orang sukses ya nak? Sudah punya usaha sendiri. Kapan mau nikah? Sudah mapan begitu, ganteng lagi, kayak nabi Yusuf. Pasti banyak yang ngantri.”
”Ah, mbok bisa saja, belum ada yang mau Mbok...” 
”Halah, masih suka bergurau kau ini...”
”Emang nyatanya gitu kok Mbok.”
”Ya cari lah nak... jangan di bengkel kerjamu terus, nanti keburu yang cakep-cakep habis. Ini pesanan udah sudah siap.” Mbok Yem menyodorkan menu pesananku.
”Haha, mbok bisa aja, cakep sih nggak penting Mbok, yang penting shalihah.” Kuterima dua piring yang panas itu sambil membalikkan tubuh hendak kembali ke tempat duduk yang telah kupilih bersama Harun. Kemudian kubalikkan tubuh lagi untuk mengambil dua gelas es teh di meja kerja Mbok Yem.
”Sama anaknya pak Haji aja.” Mbok Yem berbisik.
”Pak Haji yang mana Mbok?”
”Pak Haji Iqbal, tuh anaknya, yang pakai kerudung ijo.” Mbok menunjuk dengan menyipitkan matanya kepada wanita yang duduk di salah satu bangku menghadap ke arah kami. Ah, sepertinya aku pernah melihatnya, tapi dimana?
”Cantik ya, nak? Shalihah juga, Insya Allah.”
Sejenak kuhadapkan mataku pada wajah Mbok, kemudian beralih kembali ke arah wanita itu, mencoba mengingat dimana aku pernah melihatnya. Sialnya, gadis itu memergoki aku memandanginya kemudian menundukkan wajahnya yang bersinar. Wanita setengah baya, mungkin ibunya, yang sedari tadi mengobrol dengannya penasaran kenapa anaknya menundukkan wajah, kemudian ibu itu menatapku. Wajahnya sama cantiknya dengan gadis berjilbab hijau itu walau terlihat beberapa tahun lebih tua. Astaghfirullah hal adzim, beliau kan istri pak Haji Iqbal, dan berarti wanita berjilbab hijau itu adalah anaknya. Oh ya, aku ingat sekarang! Aku pernah bertemu gadis itu ketika membantu menata aksesoris pesanan Haji Iqbal ...
«««
Cermin besar berbingkai kumpulan kulit kerang dan makhluk laut lain yang telah diawetkan terlihat megah. Kebanyakan merupakan binatang laut kelompok filum Mollusca, kelas Pelecypoda. Untuk filum Echinodermata hanya sedikit. Setelah memasang cermin itu pada paku yang telah terpasang, kulihat bayangan seorang wanita hendak keluar dari kamarnya terpantul pada cermin itu. Ah cantiknya, rambut hitamnya yang lurus tekumpul di bahu kanannya... Gadis itu bagaikan bidadari. Tetapi dia segera masuk kembali ke kamar setelah ia sadar aku melihat bayangannya yang terpantul di cermin.
”Astaghfirullah hal adzim, kau melihat anakku tadi?” Haji Iqbal, pria berjenggot pendek itu mengagetkanku.
”Ah, maaf pak, maaf sekali, saya tidak sengaja.” Dengan penuh rasa bersalah kepalaku tertunduk.
”Hm, bukan salahmu nak, salahku yang tidak memberi tahu Nia lebih dulu bahwa akan ada yang datang membawa beberapa aksesoris pesananku.”
Waktu itu Haji Iqbal baru pindah dari Surabaya, saat itu rumahnya masih banyak ruang kosong, lalu beliau memesan beberapa aksesoris padaku atas saran dari Haji Husein, kepala pesantren Al Falah di desaku, Desa Bagaskara. 
”Karena sudah selesai semua, sebaiknya saya langsung pulang saja pak, saya takut mengganggu kebebasan keluarga Bapak.”
”Ah, tidak nak, kau harus mencicipi dulu seduhan teh kami.”
”Tidak usah pak, tidak usah repot-repot.”
”Kau adalah tamu di rumah ini, maka wajib bagi kami untuk menghormatimu.”
”Ah, saya tidak perlu penghormatan yang berlebihan pak...”
”Secangkir teh tidaklah berlebihan untuk kita, mari...”
Pak Haji membawaku ke ruang tamunya yang nyaman, kemudian mempersilahkanku duduk di sofanya yang empuk.
”Aku sangat menghargai karyamu nak, cermin itu bagus sekali dan guci yang berisi bunga dari kulit jagung itu tampak indah dipajang di pojok ruangan ini.” Pak Haji membuka obrolan kami dengan memandang guci dan bunga dari kulit jagung hasil karyaku. ”Apalagi guci itu terukirkan ayat Al Qur’an. Subhanallah.”
”Alhamdulillah pak, terima kasih. Oya pak, ukiran kaligrafi itu adalah surat An Nisa ayat 1.”
”Ah, begitu ya? Aku ini orang yang suka seni tapi tidak bisa membuat satu barang seni yang bernilai jual...” Bapak bermata teduh itu menerawang jauh ke masa lalu. ”Ah, Bapak baru ingat, waktu pesantren dulu Bapak ini murid yang paling jelek nilainya untuk pelajaran kaligrafi.”
”Ah, pasti Bapak punya kelebihan di bidang lain kan? Karena Allah tidak mungkin menciptakan manusia tanpa kelebihan dan kekurangan.”
”Ya, setidaknya Bapak pandai berceramah dan mengajar ngaji, haha...” Pak Haji itu tertawa lebar. ”Kalau tidak salah surat An Nisa ayat 1 itu artinya tentang penciptaan manusia dari Adam dan Hawa kan?”
”Barakallah, iya, Bapak benar. Tapi poin penting yang ingin saya sampaikan adalah silaturahmi dan saling mengasihi, sehingga saya tambahkan surat Al Balad ayat 17.”
”Subhanallah, pantas sekali dipajang di pojok ruang tamu ini. Ah, baru kali ini aku bertemu pemuda yang senang menerapkan Al Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.”
”Ah, tidak pak, saya bukanlah orang yang pantas dipuji.”
Ruang tamu itu tidak terlalu besar, namun terasa nyaman dan penuh cahaya. Kemudian ruang tamu itu bertambah terang saat seorang gadis yang putih kulitnya bagai mutiara yang dihasilkan Pinctada margaritifera berkualitas tinggi. Nia, dia datang membawa hidangan untuk kami. Sesaat hatiku terpaku menatap karya indah illahi pada wajahnya. Entah mengapa jantungku berdegup lebih kencang, seperti sedang lomba lari estafet. Nafasku seperti terampas olehnya. Astaghfirullah, kutundukkan kepalaku, mencoba mengembalikan konsentrasiku ke arah percakapanku dengan pak Haji.
”Kau tidak mungkin mendapatkannya, dia anak seorang Haji yang kaya nan berpendidikan tinggi. Dan wanita secantik itu pastilah tak terpukau sedikitpun padamu, yang dekil nan miskin, yang hitam nan berpendidikan rendah, huh, hanya lulusan SMK?” Gumaman hatiku mendikte bahwa aku tak punya alasan untuk mengharapkannya apalagi mendapatkannya.
”Silahkan dicicipi dulu sajiannya, nak Yusuf.” Tak terasa Nia selesai menyajikan jamuannya di hadapan kami. Kemudian ia masuk kembali, dan terlihat ekor jilbabnya berayun. Dan tahulah aku, alasan mengapa ia langsung kembali ke kamarnya ketika aku melihat bayangannya di cermin dan alasan kekagetan pak Haji. Tak lain karena dia tidak memakai jilbab sewaktu aku melihat bayangannya di cermin itu. Tak lain karena ia sangat berhati-hati dalam menjaga dirinya.
”Namanya Sania, Sania Azzahra Mustafa. Anak kedua Bapak. Nia masih kuliah di jurusan kedokteran, ingin jadi dokter anak katanya. Aku ingin satu atau dua tahun lagi ia menikah, karena insya Allah setahun lagi Nia selesai kuliah. Apa kau punya teman pria lajang untuk direkomendasikan?”
”Ah, maaf pak, saya tidak tahu pria yang bagaimana yang Bapak inginkan.”
”Yang shaleh, rajin bekerja dan pintar.”
”Ah, sepertinya saya tak punya kandidat untuk direkomendasikan.”
”Haha, masa sulit nak? Apa anak muda sepertimu tidak termasuk ke dalam kriteria itu?” Beliau menatapku tajam, seakan sedang menodongkan pedang berujung lancip di depan mataku.
Dengan tergagap kujawab sekenanya, ”Ah, saya kan bukan orang yang shaleh, rajin bekerja dan apalagi pintar pak, saya ini cuma lulusan SMK. Dan saya ini bukan orang yang kaya. Apalagi tampang saya hanya cukup untuk ukuran seorang tukang.”
”Ah, nak, kau terlalu merendah, aku sudah tau beberapa kelebihanmu dari Ustadz Amin, adik kelasku dulu. Dia bilang kau rajin ke masjid, bersedekah dan kau orang yang rajin bekerja. Dan tahulah aku sekarang, bahwa kualitas kerjamu sangat memuaskan.”
”Ah, Bapak terlalu berlebihan.”
”Tidak nak, Insya Allah Bapak jujur.”
Terdengar muadzin bersiap untuk mengumandangkan adzan, tanda waktu dzuhur akan tiba.
”Saya pamit dulu pak, sudah dzuhur.”
Hendak kugapai tangan kanannya, hendak kucium, namun segera ia mendudukkanku kembali.
”Sebentar nak, kau tidak boleh pergi sebelum menjawab pertanyaanku.”
Beliau menatapku tajam.
”Kalau kau memang ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup putriku, bersediakah kau menjalankan takdirmu?”
Tergagap, ku jawab pertanyaan beliau, ”A... ah, kalau Ibu saya meridhai, dan kalau itu memang yang terbaik yang Allah takdirkan untuk saya, dengan izin Allah saya bersedia.”
Beliau melepaskan tangannya dari bahuku. Aku berusaha untuk mencairkan suasana. ”Tetapi saya sedang tidak memikirkan jodoh pak, saya sedang memikirkan bagaimana menghajikan ibu saya. Saya tak ingin Ibu saya meninggal sebelum menyandang gelar hajah, seperti Ayah saya yang meninggal sebelum menyandangkan gelar haji pada namanya.”
Bapak berpakaian casual itu mengangguk, ”Subhanallah, semoga Allah mengabulkan do’amu nak.”
”Amin ya rabbal alamin... Saya pamit dulu pak.”
Kali ini aku berhasil menggapai tangan kanannya dan menciumnya sebelum beranjak pergi.
”Oh ya nak, ini uangnya, aduh Bapak sampai lupa.” Beliau mencegatku sebelum keluar dari pagar rumahnya.
”Alhamdulillah, terima kasih pak.”
«««
Sesampainya di rumah setelah shalat dzuhur di masjid dan pergi ke toko untuk membeli lem kuhitung jumlah uang yang beliau berikan padaku. ”Astaghfirullah, ini lebih seratus ribu, aku harus mengembalikannya.”
Sampai di tengah jalan di dekat pesantren aku berpapasan dengan beliau bersama istrinya yang cantik, beliau menolak menerima uang lebihannya kembali.
”Nak, ini sudah rejekimu. Bapak kasih uang lebih karena kau tepat waktu mengantarkan pesanan Bapak. Kalau kau telat setengah jam, kau takkan bertemu Bapak karena Bapak mau pergi ke Pesantren untuk mengajar. Dan Bapak sangat mensyukuri itu. Karena bertemu kau, Bapak jadi lebih bersemangat untuk mengajar.”
”Karena saya pak?”
”Ya, kau pernah belajar di pesantren ini kan?”
”Ya, cuma setiap sore pak.”
”Itulah nak, kau pernah diajar pak Haji Hamdan kan?”
”Ya, betul. Beliau adalah guru yang sangat saya hormati.”
”Dan karena kau pernah diajar beliau, Bapak semakin bersemangat untuk mengajar karena Beliau adalah Abi (Ayah) Bapak. Beliaulah yang menginspirasi Bapak untuk menjadi guru.”
”Subhanallah, jadi Bapak adalah putra pak Haji Hamdan? Ah, saya senang bisa bertemu Bapak.” Kucium punggung tangan kanannya.
”Bapak juga senang bertemu denganmu nak. Sebenarnya Bapak sengaja melebihkan jumlah uangnya. Uang itu simpanlah untuk tabungan haji Ibumu.”
”Ah, tapi ini terlalu berlebihan pak.”
”Tidak nak, dulu Abi ingin menghadiahkan sesuatu padamu karena kau yang paling rajin di antara murid - murid yang lain. Tapi beliau dipanggil Allah sebelum mewujudkan keinginannya. Jadi anggaplah ini sebagai hadiah dari gurumu dengan perantara anaknya ini.”
Tidak kutemukan rangkaian kata untuk menolak pada situasi yang melankolis ini, ”Ah, terima kasih banyak pak.”
«««
Oh ya, dia Nia, Sania Azzahra Mustafa. Putri pak Haji Iqbal Mustafa, cucu pak Haji Hamdan Mustafa. Ah, kenapa aku sampai lupa?
Astaghfirullah, Harun! Aku lupa. Kuambil dua gelas es teh itu kemudian melangkah menuju tempat duduk yang kupilih bersama Harun.
Setengah piring pesanan kami telah masuk ke perut saat istri pak Haji Iqbal menyapaku.
”Assalamu’alaikum, nak Yusuf kan?”
”Eh, iya Bu. Wa’alaikumsalam warahmatullah.”
”Ini adiknya ya?” Ibu Hajah itu mengelus rambut Harun dengan lembut.
”Ah, bukan Bu, dia teman adik saya. Adik saya sudah pulang. Padahal saya butuh teman makan.”
”Oh, begitu, lagi pula kalian tidak mirip.” Ibu Hajah itu tersenyum bijak dengan tidak memperlihatkan giginya, ”Yuk, kami pulang dulu nak, kasihan Abi sudah menunggu di mobil.”
”Oh, Mau pergi kemana Bu?”
”Tidak, kami baru pulang dari Surabaya, menjenguk saudara yang baru dapat momongan, anak lelaki.”
”Oh, alhamdulillah, semoga menjadi anak yang shaleh ya Bu.”
”Amin, semoga jadi anak yang tampan dan shaleh sepertimu.”
”Ah, Ibu bisa saja.”
”Yuk, kami duluan, Assalamu’alaikum.”
”Wa’alaikumsalam warahmatullah.”
Sania hanya meninggalkan seutas senyuman padaku. Membuatku tersenyum juga.
”Pacar Abang ya?” Harun membuatku kaget setelah mencubit tanganku.
”Aduh, ih bukan, ngaco kamu!”
”Oh, memang nggak pantes sih, hehe...” Si gendut itu memperlihatkan giginya yang tertempeli sebutir nasi.
”Awas kau!” Malas meladeninya, kulanjutkan acara makanku.
Dan setelah piring kami bersih dari menu lezat itu, langsung kuhantam Harun dengan pertanyaan yang sedari tadi kusimpan untuknya.
”Harun, kau harus jujur pada Abang, kau merahasiakan sesuatu tentang Iman kan?”
”Eh, apa? Eng... enggak kok Bang.”
”Jujurlah Harun, Abang nggak akan marah sama kamu.”
Sekejap kemudian ia menjadi murung.
”Aku disuruh tutup mulut. Tidak boleh ngomong sama siapapun, apalagi sama Abang.”
”Disuruh? Sama siapa?”
”Ngg... sama Iman Bang.”
”Hm... katakan saja Harun, Abang janji kamu nggak bakal diapa-apain sama Iman.”
”Ngg...tapi Bang? Aku takut.”
”Takut? Kenapa? Memangnya Iman mengancammu?”
Dia mengangguk seperti ayam sedang makan.
”Hm, dia mengancam apa?”
”Iman mau bocorin semua ban mobil Abi kalau aku bocorin rahasianya.”
Setengah terguncang aku terkikik, ”Haha... tenanglah Harun, dia tidak mungkin bisa, dia kan cuma sendiri dan mobil Abimu ada tujuh. Tujuh kali empat sama dengan dua puluh delapan. Artinya dia harus membocorkan dua puluh delapan ban, dan itu tidak mungkin ia lakukan sendirian. Apalagi ada Bang Satrio yang menjaga.”
”Siapa bilang sendirian? Dia punya banyak teman kok, preman lagi!”
”Preman?” Astaghfirullah, semoga aku salah dengar, atau mulutnya salah berucap.
”Iya Bang, sekarang dia berteman dengan preman dan anak jalanan kota Giri.”
”Kau tahu dari mana?”
”Ng... tapi Abang janji bakal melindungi aku kan?”
”Ya, Harun, Abang janji.” Kupertegas dengan kemantapan.
”Benar-benar janji ya Bang?”
”Iya, Insya Allah.” Kujawab penuh kemantapan.
”Ng... aku pernah melihatnya merokok di gang belakang pasar sebelum rumahku. Itu loh, di bekas gudang penyimpanan beras.”
”Astaghfirullah, merokok? Sama siapa?”
”Itu, preman dan anak jalanan kota Giri yang ngakunya Geng Kota.”
”Kira-kira berapa jumlah mereka semua?”
”Ng... nggak tau Bang, kayaknya kurang dari sepuluh.”
Sejenak aku berfikir, ”Ya sudah, sekarang kau pulang saja lewat jalan memutar biar kau selamat. Abang mau kesana dulu.”
”Hah? Ngapain Bang?” Si gendut itu kaget.
”Ya jemput Iman lah. Emang kenapa?”
”Tapi mereka itu orang jahat, preman Bang! Lagi pula jumlah mereka lebih banyak.”
Hmm... memang benar, tapi bagaimanapun aku harus menjemput Iman.
”Tidak apa-apa, Abang akan pakai cara halus.”
”Gimana caranya Bang?”
”Ada deh... Sudah kau pulang saja, nanti Emakmu khawatir.”
”Iya Bang, terima kasih makanannya. Hati-hati ya Bang.”
”Iya. Do’ain Abang ya...”
”Iya Bang.” Wajahnya masih memelas bagai memohon supaya aku membatalkan rencana untuk menjemput Iman.
Sejurus kemudian, kubayarkan makanan dan minuman yang telah kami habiskan. Kupakai helm, dan kubawa lari Hondaku.
«««
Tempat yang kutuju tidak jauh dari sekolah. Beberapa meter sebelum bekas gudang itu, kutitipkan motorku pada penitipan sepeda motor yang berlokasi di dekat pasar. Sampai di bekas gudang itu, kuintip di celah-celah dinding yang terbuat dari seng. Astaghfirullah hal adzim, memang benar perkataan Harun, Iman sedang menghisap rokok bersama sekumpulan preman, dan oh, apa itu? Preman-preman itu menggenggam sebuah kotak berwarna coklat. Setelah beberapa detik kutingkatkan daya akomodasi mataku, tahulah aku, bahwa kotak itu berisi ganja. Kemudian salah satu preman itu menyerahkannya pada adikku, menyuruhnya untuk membawakan bungkusan itu pada alamat yang ia berikan. Kemudian Iman berjalan menuju pintu keluar. Ya Allah, kenapa semengerikan ini?
Amarahku membludak, langsung kutenangkan saja. Mereka lebih banyak dariku. Tak mungkin menghabisi mereka dengan otot. Tiba-tiba aku teringat bagaimana para detektif mengalahkan musuh-musuhnya. Otak, ya, dengan otak. Sejenak aku berfikir. Ah iya, HP-ku. Kalau tidak salah ada ringtone mirip sirine mobil polisi. Langsung kucari file-nya. Ah, ketemu.
Pertama-tama rendahkan nadanya, kemudian tingkatkan nadanya secara frekuentif, sehingga terkesan ada mobil polisi yang mendekati tempat mereka.” Begitulah rencanaku.
Kutunggu Iman keluar dari pintu. Di belakang papan besar aku menunggunya. Setelah kubungkam mulutnya, kubunyikan sirine itu.
”Ngiung... ngiung... ngiung...”
Berhasil. Mereka kalang kabut. Mereka kabur lewat pintu belakang bekas gudang itu sehingga menjauhi tempatku kini.
Iman meronta sehingga lepas kendali, namun segera kutarik tangannya.
”Iman, mau kemana kau!? Begini kerjamu sekarang hah?”
”Apa urusannya sama Lo?”
Amarahku semakin memuncak karena baru kali ini dia tidak memanggilku ’Mas’, tetapi dengan kata ganti ’Lo’. Sangat menunjukkan bahwa ia tak sayang lagi padaku.
”Iman, kau tahu? Dengan ini, kau terlibat kasus Narkotika dan kau bisa saja dipenjara.”
”Apa peduli Lo?”
Benar-benar puncak amarahku. Kutampar pipinya.
”Kau ini, kenapa kau berubah? Dulu kau rajin shalat, rajin ngaji. Tapi jadi apa kau sekarang? Apa ini?” Kurebut bungkusan  berisi ganja yang ia genggam, kemudian membantingnya ke tanah. ”Kau mau jadi bandar narkoba hah? Kasihan Ibumu! Dia merawatmu siang malam tapi apa balasanmu? Kau hanya...”
”Cukup! Puas Lo!? Puas!? Gue begini karena Lo!”
”Apa maksudmu? Kau mencoba membawaku pada kesalahanmu?”
”Ya! Memang semua ini karena Lo! Lo selalu dimanja Ayah dan Ibu. Lo selalu dipuji mereka. Tapi apa yang mereka berikan ke gue? Gak pernah mereka muji gue. Mereka nggak ngasih motor dan HP kayak Lo. Lo ngrebut semuanya!”
”Iman, kau salah paham!”
Sejenak kupeluk Iman-ku yang masih melawan kemudian kusejajarkan mataku dengan matanya. ”Iman, kau tak tahu mereka berbuat seperti itu karena apa.”
”Lepasin! Gue nggak peduli. Gue benci Lo!” Dia terus meronta. Namun tubuh kecilnya sangat tidak mendukung untuk lepas dari tubuhku yang jauh lebih besar.
”Iman, dengarkan aku! Mereka terlihat lebih menyayangiku karena aku bukan anak mereka.” Kali ini aku berhasil menghentikan perlawanannya. ”Aku bukan kakak kandungmu. Aku dirawat oleh Ayah Ibumu sejak bayi. Aku ditemukan mereka di dekat sumur di pekarangan mereka. Kemudian mereka memberiku nama Yusuf, Yusuf Syaifullah. Mereka tak sedikitpun mengurangi kasih sayang untukmu. Kau salah sangka, Iman... Justru kau yang lebih beruntung dariku. Aku tak tahu Ayah dan Ibu kandungku.” Tetesan air mata mengaliri pipiku.
”Nggak mungkin! Lo bohong!”
”Semua itulah kenyataannya.” Kulepas pelukanku dan kuhapus air mataku.
Iman masih menunduk.
”Ah, masalah motor yang kau inginkan, aku belum bisa memberikannya padamu karena umurmu belum cukup. Dan untuk HP yang kau inginkan, akan kubelikan, tapi jangan terlalu mahal ya! Uangku nggak banyak.”
Dia hanya bisa menatapku pilu. Tak mampu berucap.
”Maafkan aku Mas... Aku yang salah...”
”Maafkan aku juga, aku juga salah karena memarahimu kemarin.”
”Mas, maaf, aku merokok karena dipaksa mereka...” Iman menunduk lagi.
”Kalau begitu lekas kau tinggalkan! Mas nggak mau kamu tersiksa kanker paru-paru seperti Ayah. Iman, maaf, sebenarnya Ayah meninggal karena kanker paru-paru.”
”Hah? Jadi Ayah meninggal karena kanker?”
”Ya, maaf aku bohong padamu. Ayah menyuruhku bohong karena beliau malu. Beliau malu karena menghabiskan sebagian rezekinya untuk membeli rokok yang memberikan ketenangan sesaat namun pada akhirnya hanya dapat membunuhnya. Ayah menyesal, dulu, lebih baik Ayah membelikan makanan sehat untuk kita.”
Iman kembali menangis, ”Jadi karena itulah Mas berhenti merokok dan membenci rokok?”
Aku mengangguk. ”Sudah, sekarang kita pulang saja. Benda itu kita bakar saja.” Kutunjuk bungkusan berisi ganja yang tadi kubanting.
”Iya Mas...”
«««
Alhamdulillah sekarang Iman-ku kembali, sehingga kami bisa melaksanakan shalat berjamaah di masjid lagi. Dan pulang ke rumah bersama sambil mengobrol kesana kemari. Seperti sekarang ini...
”Mas, Mas tidak berfikiran untuk mencari Ayah dan Ibu kandung Mas?”
”Tentu saja pernah.”
”Lalu kenapa Mas tidak mencai mereka?”
”Pernah, tapi tidak akan lagi. Dulu, sewaktu kamu kelas 4 SD, Mas pergi tanpa ijin untuk mencari mereka. Tapi di tengah jalan, Abang Karso menemukanku dan membawaku kembali. Saat itu Ibu sakit karena merasa kehilangan. Dan sejak saat itu Mas berjanji tak akan pernah meninggalkan Ayah dan Ibumu lagi.”
Di tengah jalan, tiba-tiba saja sesosok pria menghantamku. Aku terjatuh dengan hidung berdarah. Di keremangan cahaya kulihat sosok itu. Ah, dia preman yang hampir menjerumuskan adikku ke lubang kegelapan. Kemudian dia menarik kerah baju koko yang kukenakan, hendak memukul lagi. Untung saja sewaktu SMK aku pernah belajar karate walau hanya sampai sabuk coklat. Tapi pengalaman itu membuat tubuhku cepat merespon gerakan preman itu. Aku lupa nama gerakan yang sedang kupraktekkan, kihon (gerakan dasar) jenis apa, yang penting hantam saja...
”Brengsek! Gara-gara lo duit gue melayang. Barang yang lo bakar itu lebih berharga dari nyawa lo!” Preman itu penuh amarah. Dia menyerang lagi. Kami kembali ke dalam pertarungan sengit.
Ah, tiba-tiba kurasakan sebatang pisau tertancap di perutku. Sejurus kemudian preman itu menjatuhkanku dan kabur entah kemana. Mungkin karena ia mendengar banyak langkah kaki yang datang menuju tempatku tersungkur.
”Iman, Iman... Dimana kau?”
”Mas, Mas tidak apa-apa? Astaghfirullah, Mas terluka... Pak Haji, tolong kakak saya...”
Ah, ternyata sewaktu aku berkelahi dia mencari bantuan. Dan siapa pak Haji yang ia maksud?
”Nak Yusuf...? Bertahan ya... Istighfar... Umi dan Nia tolong jaga nak Yusuf, Abi mau ambil mobil dulu....”
”Iya Abi...” Seperti suara Nia dan Ibunya...
”Nak Yusuf, bertahan ya...” Ibu Hajah itu menenangkanku.
Ah, aku baru ingat, semalam aku bermimpi ada tiga bintang yang bersinar cerah menghampiriku. Semoga ketiga bintang itu adalah mereka...
Gelap, semuanya gelap...
«««

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tulisan Gabut

Puisi yang kubacakan bersama Rischa Natasha pada acara silaturrahmi dengan Prodi ILPOL

Orasi W. S. Rendra