Anda Bangga Menjadi Generasi Nol Buku?
Salah
satu unsur pembentuk identitas nasional adalah kebudayaan. Lalu bagaimana jika
budaya yang terpahat adalah budaya malas membaca dan mengarang?
“Generasi
Nol Buku, yang rabun membaca dan pincang mengarang”. Begitulah ungkapan
kekecewaan sastrawan nomor wahid Indonesia, Taufik Ismail, terhadap sistem
pendidikan di negeri ini. Generasi bangsa yang diharapkan menjadi agent of change dianggap rabun dan
pincang. Rabun karena jarang membaca buku, dan pincang mengarang karena sangat
jarang mengarang.
“Beberapa sebab mendasar amburadulnya
Indonesia sekarang mungkin sekali karena, dalam fase pertumbuhan intelektual,
mereka membaca nol buku di sekolah,” ujarnya lagi.
Taufik membandingkan pelajaran membaca
dan mengarang siswa Indonesia dengan siswa dari beberapa negara lain dalam
sebuah survei sederhana. Hasilnya? Mencengangkan! Sementara pelajar Indonesia
tidak mendapat tugas membaca dan mengarang, murid SMA di Amerika Serikat per
tahunnya diharuskan membaca 32 buku. Bahkan, di negara berkembang Thailand,
siswa SMA diharuskan membaca lima buku[1].
Sungguh ucapan beliau terbukti benar.
Kenyataannya, setelah beberapa tahun mengecap pendidikan formal dan non-formal,
siswa jarang diberi tugas membaca bahkan mengarang. Walhasil pola pikir siswa
hanya akan berputar-putar pada satu gagasan utama karangan dan tak tahu
kesimpulan apa yang akan mereka peroleh. Buktinya banyak skripsi tebal yang hanya
menyia-nyiakan lembaran kertas akibat satu gagasan yang terlalu banyak
dirotasikan dalam tulisan.
Wajah Indonesia telah tercoreng oleh
catatan-catatan hitam cerminan budayanya. Salah satu catatan hitam yang sedang
dibahas di sini adalah budaya malas membaca dan mengarang yang menimbulkan
peng-‘halal’-an pembajakan di Indonesia. Padahal pembajakan merupakan tanda
lemahnya etika pelaku sebagai customer.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi menyebabkan masyarakat dunia semakin mudah mengakses data di
internet tanpa batas. Hal itu akan berdampak positif dan negatif, dalam hal ini
bagi pelajar dan mahasiswa.
Dampak positif internet bagi pelajar dan
mahasiswa adalah mudahnya berinteraksi dengan masyarakat dunia untuk
menyebarluaskan ide, gagasan dan karya mereka. Selain itu mereka juga dapat
mempelajari bahasa dan budaya asing dengan mudah.
Dampak negatifnya, pelajar dan mahasiswa
-terutama yang menyalahgunakan fungsi internet- akan menjadi malas membaca buku
dan malas mengarang. Sialnya, mereka akan banyak dialiri arus informasi yang
belum diketahui benar salahnya.
Sudah banyak website yang menyediakan contoh artikel, pidato, cerpen, puisi,
esai, dan makalah yang tidak lagi menjadi ‘contoh’ tetapi juga menjadi bahan
pencontekkan tugas. Jangan tanyakan berapa banyak pelajar dan mahasiswa yang
menyelesaikan tugas mereka dengan jalan pintas itu. Bahkan untuk mengarang
puisi pun mereka tak punya ide. Padahal dengan mengarang puisi dapat meningkatkan
empati si penulis karena dia harus melibatkan dan mengolah emosinya untuk
menuangkan pikiran ke dalam kata-kata. Pantaslah Taufik Ismail menggambarkannya
dengan ‘pincang mengarang’. Mereka akan pincang tanpa internet. Kini, internet
telah menjadi ‘candu’ bagi mereka.
Seberapa sulitkah membaca dan mengarang?
Suatu pekerjaan tidak akan terasa sulit
jika dinikmati dan telah menjadi habit.
Belajar silat misalnya. Latihan awal memang pegal, sakit dan capai. Namun apabila
sering berlatih, tubuh tidak akan lagi merasa pegal hasilnya malah menjadi
sehat dan bugar. Begitu juga membaca dan mengarang. Awalnya memang berat. Namun
apabila terus dilatih, maka lama kelamaan akan muncullah kenikmatan dari
kegiatan itu yang akan memahat habit.
“Bukan kita yang membentuk kebiasaan,
tapi kebiasaan yang akan membentuk kita.” (Anonim)
Bukan integritas intelektual bangsa yang
akan membentuk kebiasaan membaca dan mengarang, tapi kebiasaan membaca dan
mengaranglah yang akan membentuk integritas intelektual bangsa. Apalagi bila
terdapat motivasi dari lingkungan sekitarnya. Sayangnya, kebiasaan baca tulis
tidak tertanam kuat di dalam diri masyarakat Indonesia. Bahkan menjadi beban
bagi sebagian mereka.
Membaca dan mengarang seharusnya menjadi
aktivitas rutin dalam rangka perluasan pengetahuan dan penuangan ide. Karena
hal itu akan meningkatkan kualitas intelektual masyarakat Indonesia demi
terwujudnya Indonesia yang sejahtera.
Bila dilihat secara cermat, banyak sekali
manfaat membaca dan mengarang baik dari segi intelektual dan psikologikal. Dari
segi intelektual, kegiatan membaca dan mengarang mampu merangsang otak untuk
masuk dan memahami suatu kasus. Dengan begitu, selain dapat membangun jiwa
kritis pelajar dan mahasiswa juga mampu meningkatkan kreativitas mereka
sehingga tidak ada lagi kata pembajakan karya.
Dari segi psikologikal, kegiatan membaca
dan mengarang mampu menumbuhkembangkan rasa empati dan simpati pelajar dan mahasiswa.
Dengan begitu, mereka akan memiliki ESQ (Emotional
and Spiritual Quotient) yang tinggi sehingga tidak mudah stres dan putus
asa dalam menghadapi persaingan global.
Oleh karena itu dapat kita simpulkan
bahwa kemajuan suatu bangsa akan sangat didukung oleh kegiatan membaca dan
mengarang.
Jika untuk membaca dan mengarang saja
sudah malas, lalu bagaimana bangsa ini bisa maju? Bangsa ini membutuhkan
generasi yang kritis, intelek, kreatif, dan pantang menyerah dalam memecahkan
masalah, berwawasan dan pandai menyalurkan ide. Bangsa ini tidak membutuhkan
generasi yang hanya menjadi follower,
besar mulut, dan berdebat tanpa tujuan yang jelas. Generasi itu hanya akan
mengacaukan birokrasi negeri jika nantinya mereka menjadi petinggi negara. Sehingga
dalam hal ini, pendidikan kewarganegaraan haruslah bersinergi dengan pendidikan
agama dalam membangun jiwa masyarakat yang kritis dan selektif dalam memilah
informasi. Dengan demikian diharapkan pendidikan mampu mewujudkan pelajar yang
mempunyai kredibilitas moral-intelektual sebagai cadangan masa depan dan agent of change.
Komentar
Posting Komentar