The 'Dosen' Phenomenon
10% dana yang
memaju-mundurkan pembangunan di Indonesia
(ditulis oleh Ahdiyatul Muamaliyah)
Berita bahwa
pembangunan di Indonesia tidak merata sudah terasa kuno didengar. Namun
pernahkah Anda mendengar bahwa pembangunan di Indonesia hanya maju mundur?
Indonesia
bercita-cita untuk membangun masyarakat madani. Menurut Anwar Ibrahim, masyarakat
madani merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.
Inisiatif individu dan masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang, dan bukan nafsu
atau keinginan individu.[1] Namun bagaimana bila pelaksanaan
proyek pemerintah malah menjadi sasaran empuk untuk memuaskan nafsu atau
keinginan individu?
Dalam suatu
rapat pemerintah daerah, siapapun mereka yang mengajukan usulan untuk membangun
atau memperbaiki program, infrastruktur daerah, atau fasilitas umum, akan
mendapatkan uang komisi sebagai penghargaan karena dianggap telah menyampaikan
aspirasi rakyat. Tentunya uang komisi yang diberikan tidaklah sedikit.
Setidaknya uang tersebut bisa mereka gunakan untuk membeli kebutuhan sekunder
atau bahkan tersier. Namun bagi mereka yang merasa tak puas dengan uang komisi
yang diberikan, mereka akan mencari kesempatan untuk mendapatkan uang lebih -walau
dengan cara yang kotor- untuk memuaskan nafsu mereka. Sayangnya, manusia takkan
pernah puas.
Ketika ada
program pembangunan atau perbaikan infrastruktur, beberapa orang yang berkutat
di dalamnya menganggap hal itu sebagai lahan menuai rejeki. Bukannya menjaga
amanah yang diberikan, mereka yang dipercaya untuk menangani program
pembangunan tersebut malah mencari kesempatan untuk mengambil 10 % uang
anggaran proyek baik itu dengan jalan mark
up ataupun pemalsuan bukti transaksi. Di lingkungan birokrasi pemerintahan,
mereka disebut sebagai ‘Dosen’ (Sedoso Persen). Sedoso adalah bahasa Jawa yang
artinya sepuluh. Angka 10% sangatlah besar karena dana proyek bukanlah bernilai
puluhan juta lagi, melainkan milyaran. Maka jangan heran bila APBN Indonesia
selalu tergerus arus keserakahan warganya sendiri.
Para ‘Dosen’
sangat menyukai proyek pemerintah yang besar. Misalnya ketika ada proyek
pembangunan jalan, dana yang digunakan dalam pelaksanaan proyek itu mereka mark up atau bukti transaksinya akan
mereka palsukan. Dana yang tertera dalam proposal proyek akhirnya jauh lebih
besar dari angka yang benar-benar digunakan dalam pembangunan.
Apa akibat dari pemalsuan data di proposal proyek
tersebut?
Akibatnya, tokoh
yang paling pusing dalam proyek itu adalah: kontraktor. Karena keterbatasan
dana yang diberikan kepada kontraktor, akhirnya, mereka pun membelikan material
yang kualitasnya biasa saja untuk meminimalisir dana yang terpakai. Akibatnya,
kualitas jalan yang dibuat pun tak memenuhi standar. Jalan yang dibangun hanya
akan bertahan maksimal 3-5 tahun. Setelah itu, jalan akan berlubang, retak, dan
bergelombang. Hal itu akan membahayakan pengguna jalan. Kemudian pada saatnya
nanti akan ada usulan untuk memperbaiki jalan tersebut. Jika usulan itu
dipenuhi pemerintah tanpa mengoreksi proyek sebelumnya, ‘Dosen-dosen’ pun akan
memanfaatkan kesempatan itu (lagi) untuk mengeruk untung.
Sutarmadji,
Sekretaris PemDa Tegal mengatakan, “Itulah mengapa pembangunan di Indonesia
hanya berjalan maju-mundur”.
Bangun, rusak,
perbaiki, bangun lagi, rusak lagi, perbaiki lagi. Siklus itulah yang
menimbulkan stagnasi dan tidak meratanya pembangunan di Indonesia. Pembangunan
di Indonesia hanya bergerak maju mundur. Atau lebih tepatnya hanya berputar-putar
dalam suatu siklus yang berubah menjadi lingkaran setan.
Bila diumpamakan,
‘Dosen’ di dalam tubuh pembangunan Indonesia bagaikan rayap yang menggerogoti
kayu. Bila kayu terus dibiarkan tergerogoti tanpa adanya usaha pemberantasan,
ya kita tinggal menunggu lapuknya saja.
Mengapa bisa terjadi fenomena ‘Dosen’di dalam tubuh
birokrasi pemerintahan?
“Kriminalitas tidak
hanya terjadi karena niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan”. Begitulah
Bang Napi selalu mengingatkan.
Lemahnya
pengawasan pihak berwajib terhadap jalannya roda pemerintahan menjadikan
kesempatan lebih lebar. Ditambah lagi dengan preferensi pemerintah pusat
terhadap data yang ada. Pemerintah pusat hanya mengoreksi data tertulis tanpa
melihat fakta yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, jika kita ingin
membasmi ‘Dosen-Dosen’ yang ada, maka harus ada usaha untuk menutup rapat
kesempatan tersebut dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas pengoreksian
dan pengawasan terhadap proyek pemerintah. Dengan begitu, diharapkan dapat
meminimalisir kecurangan yang ada.
Lebih jauh lagi,
usaha pemberantasan ‘Dosen’ itu diharapkan dapat berperan aktif dalam
mewujudkan masyarakat madani di Indonesia. Karena jika setiap proyek pemerintah
dananya terus digerogoti oleh ‘Dosen-Dosen’ yang ada, kemudian berakibat pada
rendahnya kualitas hasil proyek, dan akhirnya berimbas pada kelancaran
aktivitas masyarakat baik ekonomi, sosial dan budaya.
Jika fasilitas
umum yang ada di Indonesia memadai dan nyaman digunakan, kelancaran aktivitas masyarakat
pun dapat ditunjang. Hal ini berpengaruh juga terhadap penciptaan masyarakat
madani karena untuk mewujudkan sebuah masyarakat madani, diperlukan prasyarat
kondisi antara lain sistem politik yang demokratis, faktor pendidikan yang
memadai bagi seluruh warganya, sehingga mereka tahu mana hak dan kewajibannya,
penegakan supremasi hukum, ekonomi yang kuat, kondisi keamanan yang stabil dan
nyaman, dan faktor-faktor lainnya.[2]
Apabila usaha
pembasmian ‘Dosen’ telah dijalankan dengan baik, selanjutnya adalah tugas ahli
teknik industri, bekerja sama dengan ahli teknik metalurgi untuk membuat suatu
material yang tahan lama, tahan gempa, dan tahan terhadap cuaca buruk. Material
ini nantinya digunakan dalam membangun fasilitas umum seperti jalan raya, jembatan,
sekolah, sampai telepon umum. Dengan penggunaan material ini, diharapkan dapat
meminimalisir pengeluaran pemerintah dalam membangun infrastruktur di
Indonesia.
Baca juga di http://www.triumphsquad11.blogspot.com ya! ^^
[1] Ubaedillah,
A., dkk., (2011). Pendidikan Kewarganegaraan: Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat
Madani. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
[2] http://www.anneahira.com/pengertian-masyarakat-madani.htm
(diakses pada tanggal 29 Desember 2011)
Komentar
Posting Komentar