Postingan

Menampilkan postingan dari 2011

Permainan Indonesiawi Untuk Si Kecil

Gambar
“Menumbuhkembangkan Jiwa Nasionalisme Buah Hati dengan Permainan Tradisional Indonesia” (ditulis oleh Ahdiyatul Muamaliyah) Penanaman jiwa nasionalisme bangsa Indonesia akan lebih efektif bila dipupuk sejak dini. Salah satu cara untuk merealisasikannya adalah dengan memperkenalkan mainan tradisional Indonesia -yang menjadi warisan nenek moyang- kepada anak Indonesia. Permainan tradisional Indonesia mengandung pesan-pesan tersirat yang tidak bisa ditemukan pada mainan modern zaman sekarang. Pesan-pesan tersebut diantaranya adalah kekompakkan, kekuatan, kelincahan, kesabaran, ketelitian, dan semangat pantang menyerah. Dengan begitu, permainan tradisional Indonesia sangat membantu membangun karakter si kecil dalam masa pertumbuhannya. Karakter ini akan berperan penting bagi kemajuan Indonesia kelak karena anak Indonesia adalah asset dan agent of change . Indonesia kaya akan permainan tradisional. Beberapa contohnya : balap karung, lomba kelereng, congklak, gotri (gatrik),

Anda Bangga Menjadi Generasi Nol Buku?

Salah satu unsur pembentuk identitas nasional adalah kebudayaan. Lalu bagaimana jika budaya yang terpahat adalah budaya malas membaca dan mengarang? “Generasi Nol Buku, yang rabun membaca dan pincang mengarang”. Begitulah ungkapan kekecewaan sastrawan nomor wahid Indonesia, Taufik Ismail, terhadap sistem pendidikan di negeri ini. Generasi bangsa yang diharapkan menjadi agent of change dianggap rabun dan pincang. Rabun karena jarang membaca buku, dan pincang mengarang karena sangat jarang mengarang. “Beberapa sebab mendasar amburadulnya Indonesia sekarang mungkin sekali karena, dalam fase pertumbuhan intelektual, mereka membaca nol buku di sekolah,” ujarnya lagi. Taufik membandingkan pelajaran membaca dan mengarang siswa Indonesia dengan siswa dari beberapa negara lain dalam sebuah survei sederhana. Hasilnya? Mencengangkan! Sementara pelajar Indonesia tidak mendapat tugas membaca dan mengarang, murid SMA di Amerika Serikat per tahunnya diharuskan membaca 32 buku. Bahkan, di n

Buat Apa Sekolah? (Salah Siapa Hidup di Indonesia)

Attention: JANGAN BACA TULISAN INI KALAU ANDA MASIH SENANG DENGAN SISTEM SEKOLAH DI INDONESIA SEKARANG INI!!!!! Hmm, kayaknya judul ini k ontroversial banget ya? Tapi inilah yang ingin kutulis. Barangkali kalian setuju atau bahkan merasakan hal yang sama denganku… Buat apa sekolah? Kalau hanya mengajarkan kita bagaimana berbuat curang bahkan licik … Masa sich? Tapi itu yang kurasakan. Sekolah di Indonesia hanya mengutamakan kuantitas nilai rapor. (Yee, salah siapa hidup di Indonesia… ) Itulah yang menyebabkan siswanya menghalalkan segala cara, for example : Mencontek, Mencari perhatian guru supaya mendapat nilai bagus, Mengcopy-paste tugas teman yang lain kelas atau lain guru, Mengikuti bimbel supaya mendapat rumus praktis menjawab soal, Atau bahkan mengikuti bimbel supaya ada tentor yang mengerjakan tugas-tugas sekolahnya, Memangnya saya (penulis) tidak pernah melakukan itu? Wah, sering...! Maka dari itu aku benci pada sistem sekolah di Indonesia. Hal-

Ayahku Hebat: Ayahku Pedagang Sepatu Keliling

Miris hatiku ketika melihat Ayah mencari nafkah untuk kami berempat: aku, ibu, dan 2 adikku. Ayahku yang hanya seorang pedagang keliling dengan laba yang hanya seberapa. Dengan perjuangan menjelajah sebagian kecil dunia ini. Bagaimana tidak? Setiap hari ayah harus berkelana dari satu instansi pemerintah, kantor-kantor penting, sekolah, hingga rumah sang pembeli. Dengan motor Astrea tahun 90-an kesayangannya, Ayah menjelajah, memahat takdir, mencari nafkah bagi keluarga. Apa saja yang Ayah jual? Banyak! Ada sepatu kulit ( all gender ), sepatu sekolah, sepatu olah raga, semir sepatu, jaket kulit, tas kantor, tas sekolah, tas traveller, kaos kaki, sabuk, dompet kulit, alat tulis dan sekolah seperti buku, bolpoin, pensil, dll. Ayo ayo pada beliiiiiiii... Ketika ’pemerintah lalu lintas’ mengeluarkan ’fatwa’ bagi pengendara sepeda motor untuk menggunakan helm ber-SNI, Ayah seakan melihat peluang. Aku tidak tahu bagaimana tangan-tangan takdir membawa Ayah mengenal Pak Anang, pedagang hel